Siapa presiden di dunia yang paling kecanduan Twitter? Barangkali presiden Argentina juaranya.
Ketika satu juta rakyat Argentina berunjuk rasa untuk memprotes pemerintahannya, Presiden Cristina Fernandez memilih menjawabnya melalui Twitter. "Ya, aku agak keras kepala, dan aku juga tua. Tapi pada akhirnya, kita beruntung bisa menjadi tua, bukan?" tulisnya.
Kali lain, dalam perjalanan ke Caracas, ia mulai merenungkan kematian Chavez dan menuliskannya dalam akun Twitter-nya. Ia melanjutkan dengan kematian suaminya, mantan Presiden Nestor Kirchner pada tahun 2010.
"Mengapa orang-orang yang hidup dengan intensitas begitu banyak meninggalkan kita begitu cepat?" tulisnya.
Malam berikutnya, ia mulai menulis tentang "kondisi manusia," sebelum tampaknya mengingat bahwa, bahkan di Twitter, ada batas.
"Maafkan saya," tulisnya. "Saya mulai berpikir, dan karena saya tidak dapat berbicara (karena suara saya hilang), aku menyalurkannya di sini."
Ia terus menuliskan tweet sepanjang waktu mesi kebiasaannya mulai membuat risih orang terdekatnya dan kerap disindir media. Dalam sembilan jam, ia bisa menuliskan hingga 61 tweet.
Inilah yang memicu perdebatan, apakah elok seorang presiden hobi "bermain" Twitter. Ia dituding, gara-gara hobinya itu, membuat politik lebih terpolarisasi, konfrontasi lebih bersifat pribadi, dan membuatnya terlihat canggung.
"Semua orang yang menggunakan Twitter tahu bahwa kadang-kadang Anda menulis sesuatu dan menekan tombol kirim tanpa berpikir cukup tentang hal itu. Itu berbahaya dalam politik," kata Alan Clutterbuck, pimpinan Fundacion RAP, sebuah kelompok yang berbasis di Buenos Aires yang bertujuan untuk meningkatkan kesopanan berwacana politik.
Menurutnya, memanfaatkan media sosial tak ada salahnya. Namun seorang pemimpin mestinya menggunakan media sosial dengan cara yang berbeda. "Ketika seorang pemimpin menuliskan, "Saya mendapatkan sandwich, Anda tentu akan berpikir: "Siapa yang peduli?"," katanya.