Apa penjelasannya, bahwa 3.000 mujahid dari badui-badui gurun jazirah Arab, berani melawan 200.000 pasukan Romawi dalam perang Muktah? Mereka tidak menang, memang, dalam pertempuran yang berlangsung tahun kedelapan hijriah itu. Tiga panglima mereka gugur sebagai syuhada; Zaid Bin Haritsah, Jafar Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Rawahah. Ketika Khalid mengambil alih ke
pemimpinan, yang ia lakukan adalah mundur teratur untuk menyelamatkan nyawa mujahidin yang tersisa.
Sementara anak-anak melempari mereka dengan batu saat kembali ke Madinah, karena dianggap melarikan diri, Rasulullah justru menggelari Khalid sebagai Syaifullah Al Maslul. Pedang Allah yang terhunus. Menyelamatkan nyawa pasukan adalah keputusan bijak seorang pemberani. Berhasil mundur dari kejaran pasukan sebesar itu adalah keahlian tempur seorang jenius perang. Tapi berani melawan pasukan sebesar itu adalah pesan penting bagi Romawi; pertempuran sudah kita mulai, dan kami akan kembali.
Perang Yarmuk adalah saksi kejeniusan perang Khalid. Pertempuran yang terjadi sekitar enam tahun setelah setelah pertempuran Muktah itu, memang terlalu legendaris. Bayangkan 36.000 mujahid Muslim melawan 240.000 pasukan Romawi. Gelar Rasulullah Saw kepada Khalid jadi kenyataan. Sejak itu Romawi diusir dari wilayah jazirah Arab, Syam kemudian Mesir.
Apa penjelasannya, bahwa mujahid Badui itu bisa menaklukkan imperium besar seperti Romawi dan Persi? Dalam pendekatan aqidah dan iman, kemenangan itu dapat dengan mudah ditafsirkan. Tapi dalam pendekatan strategi perang, kita mungkin perlu mempelajari The Art of War dari Sun Tzu, strategi perang tertua yang ditulis 500 tahun sebelum Masehi dan telah mengilhami China dan Jepang selama 2400 tahun. Atau The Military Institution of The Romans yang ditulis oleh Vegetius kepada Valentinian II sekitar tahun 390 M, dan kelak mengawali pengembangan tentara regular di Eropa. Atau My Reveries Upon Art of War yang ditulis Jenderal Maurice De Saxe tahun 1732 M. Strategi ini merupakan kembangan ide-ide Vegetius dan kelak banyak mengilhami Napoleon seperti diurai Stonewall Jackson dalam The Military Maxims of Napoleon. Atau The Secrets Instruction Frederick The Great to His Generals yang secara kebetulan ditemukan dalam kopor kecil Jenderal Czetteritz tahun 1760. Atau On War dari Carl Von Clausewitzs tahun 1832. Kedua pemikiran strategi militer inilah yang melatari semua pengembangan strategi perang Jerman.
Kebesaran Mujahid Badui yang telah menaklukkan Imperium Persi dan Romawi itu hanya mungkin kita pahami dalam kerangka pemikiran-pemikiran strategi perang itu. Khalid tumbuh dalam tradisi perang gerilya yang menjadi ciri perang masyarakat jazirah. Tapi ia menguasai cara berpikir tentara regular Romawi yang mengusai pola perang konvensional dengan alutsista besar sejak 200 tahun sebelumnya. Keteraturan adalah ciri pasukan Persi dan Romawi, atau tentara Modern. Ketidakteraturan adalah ciri pasukan gerilya. Diperlukan waktu untuk menemukan pola dalam ketidakteraturan itu. Khalid mempelajari keteraturan itu sebagai sebuah kekuatan, tapi tetap menggunakan pola perang gerilya sebagai kombinasi dari pusat kekuatannya. Tapi mereka gerilyawan yang agresif. Jadi secara strategi ia unggul. Ia tahu cara berpikir musuhnya. Tapi musuh tidak tahu keseluruhan cara berpikirnya. Ketahuilah cara berpikir musuhmu, tapi jangan berpikir dengan cara berpikirnya. [Anis Matta, Pembelajaran, Majalah Tarbawi]